Ramen Enthusiast’s Dream Trip

Introduction to Ramen: A Cultural Staple

 

Ramen, a quintessential dish in Japanese cuisine, boasts a rich history that dates back to the late 19th century. Initially introduced by Chinese immigrants, this noodle soup quickly captured the hearts and palates of the Japanese populace. Over the decades, ramen has evolved from its humble beginnings into a beloved national dish, featuring an impressive variety of regional styles, broths, and toppings.

The significance of ramen in Japanese culture extends beyond mere sustenance; it serves as a symbol of social interaction and community. Traditionally enjoyed at ramen shops, izakayas, and street stalls, the dish facilitates connection among friends, families, and even strangers. Each bowl reflects not only the culinary skill of the chef but also the local ingredients and flavors that define the region. For instance, the rich, miso-based ramen of Hokkaido is distinctly different from the delicate tonkotsu broth favored in Fukuoka, showcasing the country’s diverse food landscape.

Moreover, the ingredients that constitute authentic ramen play a vital role in its identity. The noodles, typically made from wheat flour, water, salt, and an alkaline mineral known as kansui, vary in thickness and texture, creating distinct mouthfeels. Similarly, the broth acts as the heart of the dish, infused with flavors from ingredients such as pork, chicken, or seafood, often simmered for hours to achieve the perfect umami balance. Toppings like sliced chashu pork, green onions, and soft-boiled eggs add depth and complexity to the overall flavor profile.

Ramen's journey has transcended its initial cultural boundaries; it now enjoys international acclaim, inspiring numerous adaptations worldwide. From trendy ramen bars in cities such as New York and Los Angeles to pop-up restaurants in European capitals, the dish's versatility enables it to be embraced by diverse culinary influences while maintaining its authentic roots. This journey invites enthusiasts to appreciate not only the taste but also the story of ramen, a true testament to Japan's culinary heritage.

Pemerintah Kabupaten Majalengka Jawa Barat berupaya menurunkan angka stunting di wilayahnya melalui berbagai langkah strategis, salah satunya dengan mengerahkan petugas gizi di setiap puskesmas.

 

“Petugas gizi bekerja untuk memantau kondisi anak-anak di setiap kecamatan, kemudian melaporkan langkah intervensi dini yang diperlukan dalam upaya pencegahan stunting,” kata Ketua Tim Kerja Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Majalengka Asri Febriantini di Majalengka, Selasa.

 

Ia menjelaskan, saat ini pada setiap puskesmas di Majalengka sudah memiliki satu hingga tiga petugas gizi, yang bertugas melakukan penimbangan dan pengukuran balita secara rutin setiap bulan.

 

Menurutnya, petugas tersebut juga ikut dilibatkan untuk menangani faktor penyebab stunting lainnya, seperti balita yang terkena penyakit.

 

“Misalnya ditemukan anak dengan masalah kesehatan seperti infeksi Tuberkulosis -TB-, petugas gizi bisa berkonsultasi dengan petugas program TB di puskesmas, dan jika perlu merujuknya ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut,” kata Asri.

 

Selain petugas gizi, lanjutnya, Pemkab Majalengka juga telah membentuk tim updater data beranggotakan 21 orang yang bekerja untuk memperbaharui data balita di desa-desa yang menjadi fokus penanganan stunting.

 

Asri mengatakan, data tersebut nantinya dilaporkan ke sistem nasional, sebagai bahan rujukan untuk penanganan stunting.

Ia menyebutkan, hingga Oktober 2024, progres pelaporan tim updater data itu sudah mencapai 96,29 persen, dan menjadikan Kabupaten Majalengka menduduki peringkat ketiga tertinggi di Jawa Barat dalam hal pelaporan data stunting.

 

“Pencapaian ini cukup signifikan, terutama karena kami tidak mengalami kendala dalam pengunggahan data ke sistem. Hal ini bekat dukungan para camat, kepala desa, dan puskesmas yang turut mengawal pelaksanaan di lapangan,” ungkapnya.

 

Sementara itu Penjabat Bupati Majalengka Dedi Supandi menuturkan, angka stunting di daerahnya tercatat sebesar 3,12 persen, atau sekitar 2.465 balita menderita stunting dari total 79.101 balita yang diukur pada 2023.

 

Dia optimistis bahwa angka ini terus menurun, setelah dilaksanakannya Survei Status Gizi Indonesia 2024 di Majalengka.

“Kami optimistis bahwa dengan berbagai upaya terintegrasi ini, target penurunan angka stunting dan peningkatan status gizi masyarakat dapat tercapai dalam waktu dekat,” katanya.